
Di lingkungan pesantrenku,
perjumpaan laki-laki – perempuan tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan tidaklah
diperkenankan. Kalaupun membutukan komunikasi dengan santri putri untuk
kepentingan organisasi OSIS, misalnya, tetap harus meminta izin kepada ibu nyai atau minimal kepada pengurus. Jika sudah mendapatkan izin maka pertemuan baru boleh dilakukan, namun harus di ruang khusus tamu.
kepentingan organisasi OSIS, misalnya, tetap harus meminta izin kepada ibu nyai atau minimal kepada pengurus. Jika sudah mendapatkan izin maka pertemuan baru boleh dilakukan, namun harus di ruang khusus tamu.
Menjelang acara
organisasi, aku menemui Dewi untuk koordinasi. Sebagaimana biasa, aku harus
memanggilnya melalui mbok Inah (sebut saja begitu namanya), pembantu masak
kiai. Saat menunggu , hatiku deg-degan, bergetar. Di sela-sela pembicaraan
organisasi, aku rasakan bahwa ia adalah perempuan yang cukup baik dan
potensial. “Siapakah gerangan yang akan menjadi pendampingnya?” Demikian hatiku
bicara. Dalam pikiran, aku teringat ayat “Manusia dihiasi (Tuhan) menaruh rasa
cinta terhadap perempuan...”. Apakah aku mencintainya ataukah aku sedang
berkagum ria kepadanya. Tak taulah, yang jelas dalam perasaanku, Dewi adalah
gadis santri yang elok, cerdas, dan memiliki semangat tinggi untuk belajar.
Berpikir untuk berpacaran pun aku tak mampu karena cita-citaku untuk belajar
setinggi langit begitu menguasai jalan hidupku. Setiap mendengar kata “pacaran”
selalu aku menepisnya dan teringat nasehat orang tuaku agar aku belajar terus
sundul langit (setinggi langit) dan bersikap jujur. Dua nasehat yang tak
mungkin aku lupakan.Suatu ketika, Dewi bilang bahwa ada sepucuk surat untukku
yang ia selipkan dalam sebuah kitab yang ia letakkan di atas Jendela Masjid.
“Nantu dibaca dan dijawab ya”, begitu dia bilang sambil meninggalkan ruangan.
Hatiku berdetak keras, “apa isi surat itu?” Aku sungguh penasaran, dan tidak
sabar untuk mengetahui isinya, semoga saja itu surat cinta atau semacamnya.
Sore itu aku langsung masuk serambi masjid samping utara (yang biasanya
digunakan untuk jamaah ibu-ibu), dan kulihat kitab itu dengan detak jantung
lebih keras. Alhamdulillah, Kuambil dan kubuka Kitab tersebut. Kudapatkan
lipatan surat dari Dewi. “Assalamualaikum. Aku punya pertanyaan nich... mau
menjawab kan?, kunci surga adalah kalimah tauhid, La ilaha illa Allah, lalu
pintunya itu apa? Kalau ada kunci khan pasti ada pintunya. Jawab lho dengan dasar
kitabnya, tak tunggu. Wassalam”. “Wah, kalau ini sih bukan surat cinta, tapi
tes dan ujian sekolah”, demikian gumamku. Tetap tidak apa, jangan-jangan dia
hanya mau ngetes kesetiaanku. Sambil senyum-senyum sendiri aku segera
meninggalkan serambi masjid dan langsung masuk kamar pondok sambil membayangkan
bibir Dewi sedang memintaku menjawab pertanyaan tadi. Alhamdulillah, dapat
pertanyaan cukup sulit di luar ujian. Sekalian menambah stamina dan motivasi
belajar. Tak apa, dapat pertanyaan seberat apa pun dari Dewi akan tetap
kujawab, demikian pikiranku.
Semalaman, setelah taqrar (kegiatan belajar), aku membuka berbagai kitab rujukan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan Dewi. Semua kitab yang aku miliki terus aku buka dan terus membacanya dengan serius. Sesekali aku berhenti, namun segera aku lanjutkan karena merasa ditunggu olehnya. “Aku harus dapat membuat jawaban terbaik dan memuaskan”.aku ingin menjadi yang terbaik di matanya. Setelah kudapatkan jawaban beserta beberapa referensinya, kutulis jawaban tersebut dalam lembaran kertas terbaik dan kutulis dengan hati-hati, jangan sampai ada kata yang tidak berkenan. Untaian kata-kata yang bernas dan menarik hati, komunikatif. Surat yang berisi jawaban itu kemudian kuletakkan dalam kitab (yang kemaren), di jendela masjid. Saat itu, kitab dan jendela seakan menjadi agen pos bagi kami berdua.
Syukur Alhamdulillah, jawabanku telah dibaca olehnya dan dia merasa puas dengan jawabanku. Beberapa waktu kemudian dia kembali bertanya dengan pertanyaan yang beragam tentang agama. Tetapi anehnya aku suka dengan pertanyaan itu dan siap bermalam-malam membuka kitab untuk menjawabnya.
Dalam hatiku, menjawab pertanyaan Dewi berarti belajar dan mengaji secara mandiri. Kalau pertanyaannya menjadikan aku tambah rajin, mengapa tidak? Pertanyaan ini juga berguna untuk persiapan mengajar. Kebetulan saat itu aku sering diamanahi oleh kiaiku untuk membantu mengajar di Madrasah Diniyah Pondok Puteri. Sejak saat itu, aku lebih semangat untuk membaca kitab. Nilai tambah dari pertanyaan lewat surat-menyurat ini adalah kebiasaan menulis. Larangan membawa HP dan sulitnya untuk bertemu karena harus melalui mekanisme dan prosedur yang berbelit-belit. Kami tidak pernah pacaran ataupun melakukan perjumpaan sebagaimana lazimnya dalam dunia remaja. Perjumpaan rutin kami hanyalah lewat pertanyaan dan jawaban yang kami tulis secara berkala. Kami berdua merasa lebih dekat dengan diskusi lewat surat. Semenjak kegiatan diskusi itu menjadi kebiasaan, tak terasa aku telah dipaksanya untuk cinta menulis, dan lambat laun aku berusaha untuk menulis apa saja yang kurasakan penting dalam hidupku. Kebiasaan menulis menjadi kenikmatan tersendiri bagiku. Ada kepuasan tersendiri saat aku mampu menyuguhkan sebuah karya dalam bentuk tulisan.
Semalaman, setelah taqrar (kegiatan belajar), aku membuka berbagai kitab rujukan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan Dewi. Semua kitab yang aku miliki terus aku buka dan terus membacanya dengan serius. Sesekali aku berhenti, namun segera aku lanjutkan karena merasa ditunggu olehnya. “Aku harus dapat membuat jawaban terbaik dan memuaskan”.aku ingin menjadi yang terbaik di matanya. Setelah kudapatkan jawaban beserta beberapa referensinya, kutulis jawaban tersebut dalam lembaran kertas terbaik dan kutulis dengan hati-hati, jangan sampai ada kata yang tidak berkenan. Untaian kata-kata yang bernas dan menarik hati, komunikatif. Surat yang berisi jawaban itu kemudian kuletakkan dalam kitab (yang kemaren), di jendela masjid. Saat itu, kitab dan jendela seakan menjadi agen pos bagi kami berdua.
Syukur Alhamdulillah, jawabanku telah dibaca olehnya dan dia merasa puas dengan jawabanku. Beberapa waktu kemudian dia kembali bertanya dengan pertanyaan yang beragam tentang agama. Tetapi anehnya aku suka dengan pertanyaan itu dan siap bermalam-malam membuka kitab untuk menjawabnya.
Dalam hatiku, menjawab pertanyaan Dewi berarti belajar dan mengaji secara mandiri. Kalau pertanyaannya menjadikan aku tambah rajin, mengapa tidak? Pertanyaan ini juga berguna untuk persiapan mengajar. Kebetulan saat itu aku sering diamanahi oleh kiaiku untuk membantu mengajar di Madrasah Diniyah Pondok Puteri. Sejak saat itu, aku lebih semangat untuk membaca kitab. Nilai tambah dari pertanyaan lewat surat-menyurat ini adalah kebiasaan menulis. Larangan membawa HP dan sulitnya untuk bertemu karena harus melalui mekanisme dan prosedur yang berbelit-belit. Kami tidak pernah pacaran ataupun melakukan perjumpaan sebagaimana lazimnya dalam dunia remaja. Perjumpaan rutin kami hanyalah lewat pertanyaan dan jawaban yang kami tulis secara berkala. Kami berdua merasa lebih dekat dengan diskusi lewat surat. Semenjak kegiatan diskusi itu menjadi kebiasaan, tak terasa aku telah dipaksanya untuk cinta menulis, dan lambat laun aku berusaha untuk menulis apa saja yang kurasakan penting dalam hidupku. Kebiasaan menulis menjadi kenikmatan tersendiri bagiku. Ada kepuasan tersendiri saat aku mampu menyuguhkan sebuah karya dalam bentuk tulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar